Selasa, 02 April 2013

Soe Hok Gie: Manusia-Manusia Baru



Setiap membicarakan Soe Hok Gie, semua orang yang diajak diskusi pasti bilang, oh iyah yang film nya diperanin sama Nicholas Saputera?? Ganteng banget Niko (panggilan Nicholas) di film itu, trus pengen deh aku ke Semeru dan bla..bla..bla.

Ya sudahlah. Oke deh, mari kita agak serius ngomongin Soe Hok Gie. Gie (begitu ia disapa) adalah seorang Indo keturunan Tionghoa, mahasiswa UI Jurusan Sejarah tahun 1962-1969. Gie seorang anak muda yang kuat menjaga prinsip dan harga diri nya sebagai pemuda anti kemapanan dan dia buktikan dengan catatan harian nya, didalam nya memuat semua pemikiran, ideologi, cinta dan kegelisahan nya terhadap hidup pada masa nya. Dan menurut hemat saya, dia seorang yang sangat kontroversial, mengapa demikian? Berikut saya kutip beberapa catatan Gie yang dimuat dalam buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran.

“Tapi sekarang aku berfikir sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah dia berkorban buat tidak apa-apa? Aku sekarang tengah terlibat dalam pemikirian ini. Sangat pesimis, dan hope for nothing. Aku tidak percaya tuhan akan sesuatu kejujuran dari ide-ide yang berkuasa, aku tidak percaya tuhan…. Tapi aku sekarang masih mau hidup. Aku tak tahu motif apa yang ada dalam unconscious mind-ku sendiri”.

“Pandanganku yang agak murung, bahkan skeptis ini pernah dinamakan sebagai destruktif.. tetapibagaimana bila memang hidup adalah keruntuhan demi keruntuhan? Apakah kita harus berpaling dari fakta-fakta ini? Aku kira tidak,… makin belajar sejarah, makin pesimis aku, makin lama makin kritis dan skeptis terhadap apapun. Tetapi tentu ada suatu motif mengapa aku begini. Memang life for nothing agaknya sudah aku terima sebagai kenyataan”.
“Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti….. (nama sebenarnya disebutkan) kitalah yang dijasikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia”.

“Yang berkuasa sekarang adalah orang-orang yang dibesarkan di zaman Hindia Belanda almarhum. Mereka adalah pejuang-pejuang kemerdekaan gigih. Lihatlah Soekarno, Hatta, Sjahrir, ali dan sebagainya. Tetapi kini mereka telah menghianati apa yang diperjuangkan. Soekarno telah berkhianat terhadap kemerdekaan. Yamin telah memalsukan (atau masih dalam zaman romantik) sejarah Indonesia. Hatta tak berani menyatakan kebenaran (walaupun kadang ia menyatakan)”.

“Mereka generasi tua: Soekarno, ali, Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Dje, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak diLapangan Banteng. Cuma pada kebenaran masih kita haraokan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran Cuma ada di langit dan dunia hanyalah, palsu”.

“Dengan beberapa kecuali, generasi kemerdekaan ini adalah generasi yang tidak siap untuk mengambil alih tanggung jwab kemasyarakatan. Guru-guru yang tidak cukup terdidik, sarjana-sarjana pengetahuannya sepotong-sepotong atau polisi yang tidak tahu tugasnya sebagai penegak hukum, pada akhirnya meraka akan berpaling lagi pada segelintir yang punya kemampuan dalam bidangnya dan pola masyarakat yang separuh terdidik dengan “trials and error-nya” masih akan berlangsung terus. Disinilah terletak kontradiksi generasi kemerdekaan. Antara cita-cita untuk mengisi kemerdekaan dan rasa impoten dalam pelaksanaannya, dan generasi inilah yang akan mewariskan Indonesia dalam waktu yang tidak lama lagi”.

“kesanku hanya satu, aku tidak bisa percaya dia sebagai pemimpin negara karena dia begitu immoral”
“Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran”.

“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”.
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau”.

“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”.
“Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”.

“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”.

“Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”.

“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.
“Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…”

“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”.

“Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita”.

“Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin”.

“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”.

“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan”.

“Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya”.

“Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik”.

Begitulah catatan yang saya kutip dari buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Catatan-catatan ini hanya sekedar mengingatkan kembali peran dan fungsi mahasiswa sendiri dalam kehidupan berpolitik bangsa dan Negara. Mungkin ini sebuah ke khawatiran dari penulis, jika mahasiswa masa ini sudah mulai tidak tertarik lagi mengkritisi, terlalu bersikap anarkis, jauh dari pedoman kaum intelektual dan sibuk memikirkan karir sendiri masa ke depan. Catatan-catatan Gie ini jika di fikirkan dan di diskusikan secara lebih dalam, masih valid ko untuk kontemplasi politik masa kini yang dapat kita nilai seperti apa carut marutnya. Tanpa menyalahkan dan tidak hanya sebagai tukang kritik, mari kita diskusikan apa maksud manusia baru yang Gie maksud, dengan kondisi masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar