Setiap membicarakan
Soe Hok Gie, semua orang yang diajak diskusi pasti bilang, oh iyah yang film
nya diperanin sama Nicholas Saputera?? Ganteng banget Niko (panggilan Nicholas)
di film itu, trus pengen deh aku ke Semeru dan bla..bla..bla.
Ya sudahlah. Oke
deh, mari kita agak serius ngomongin Soe Hok Gie. Gie (begitu ia disapa) adalah
seorang Indo keturunan Tionghoa, mahasiswa UI Jurusan Sejarah tahun 1962-1969.
Gie seorang anak muda yang kuat menjaga prinsip dan harga diri nya sebagai
pemuda anti kemapanan dan dia buktikan dengan catatan harian nya, didalam nya
memuat semua pemikiran, ideologi, cinta dan kegelisahan nya terhadap hidup pada
masa nya. Dan menurut hemat saya, dia seorang yang sangat kontroversial,
mengapa demikian? Berikut saya kutip beberapa catatan Gie yang dimuat dalam
buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran.
“Tapi sekarang aku
berfikir sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak
mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide,
agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah dia berkorban buat tidak apa-apa?
Aku sekarang tengah terlibat dalam pemikirian ini. Sangat pesimis, dan hope for
nothing. Aku tidak percaya tuhan akan sesuatu kejujuran dari ide-ide yang
berkuasa, aku tidak percaya tuhan…. Tapi aku sekarang masih mau hidup. Aku tak
tahu motif apa yang ada dalam unconscious mind-ku sendiri”.
“Pandanganku yang agak
murung, bahkan skeptis ini pernah dinamakan sebagai destruktif..
tetapibagaimana bila memang hidup adalah keruntuhan demi keruntuhan? Apakah
kita harus berpaling dari fakta-fakta ini? Aku kira tidak,… makin belajar
sejarah, makin pesimis aku, makin lama makin kritis dan skeptis terhadap
apapun. Tetapi tentu ada suatu motif mengapa aku begini. Memang life for
nothing agaknya sudah aku terima sebagai kenyataan”.
“Kita, generasi kita
ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang
menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, seperti….. (nama
sebenarnya disebutkan) kitalah yang dijasikan generasi yang akan memakmurkan
Indonesia”.
“Yang berkuasa sekarang
adalah orang-orang yang dibesarkan di zaman Hindia Belanda almarhum. Mereka
adalah pejuang-pejuang kemerdekaan gigih. Lihatlah Soekarno, Hatta, Sjahrir,
ali dan sebagainya. Tetapi kini mereka telah menghianati apa yang
diperjuangkan. Soekarno telah berkhianat terhadap kemerdekaan. Yamin telah
memalsukan (atau masih dalam zaman romantik) sejarah Indonesia. Hatta tak berani
menyatakan kebenaran (walaupun kadang ia menyatakan)”.
“Mereka generasi tua:
Soekarno, ali, Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Dje, semuanya pemimpin-pemimpin
yang harus ditembak diLapangan Banteng. Cuma pada kebenaran masih kita
haraokan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran
Cuma ada di langit dan dunia hanyalah, palsu”.
“Dengan beberapa
kecuali, generasi kemerdekaan ini adalah generasi yang tidak siap untuk
mengambil alih tanggung jwab kemasyarakatan. Guru-guru yang tidak cukup
terdidik, sarjana-sarjana pengetahuannya sepotong-sepotong atau polisi yang
tidak tahu tugasnya sebagai penegak hukum, pada akhirnya meraka akan berpaling
lagi pada segelintir yang punya kemampuan dalam bidangnya dan pola masyarakat
yang separuh terdidik dengan “trials and error-nya” masih akan berlangsung
terus. Disinilah terletak kontradiksi generasi kemerdekaan. Antara cita-cita
untuk mengisi kemerdekaan dan rasa impoten dalam pelaksanaannya, dan generasi
inilah yang akan mewariskan Indonesia dalam waktu yang tidak lama lagi”.
“kesanku hanya satu,
aku tidak bisa percaya dia sebagai pemimpin negara karena dia begitu immoral”
“Pertanyaan pertama
yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah
seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin
mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena
ada suatu yang lebih besar: kebenaran”.
“Bagiku sendiri politik
adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di
mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”.
“Guru yang tak tahan
kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan
murid bukan kerbau”.
“Nasib terbaik adalah
tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah
umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”.
“Saya memutuskan bahwa
saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada
menyerah terhadap kemunafikan”.
“Mimpi saya yang terbesar,
yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi
"manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi
yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang
manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa,
sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”.
“Saya ingin melihat
mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti
politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang
dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah
sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau
golongan apapun”.
“Masih terlalu banyak
mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas
kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain.
Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi
korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.
“Bagiku perjuangan
harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan,
terhadap segala-gala yang non humanis…”
“Kita seolah-olah
merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan
pendapat mereka yang merugikan pemerintah”.
“Bagi saya KEBENARAN
biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah
merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita”.
“Saya tak mau jadi
pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin”.
“Saya putuskan bahwa
saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”.
“Bagiku ada sesuatu
yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba
hati, dapat merasai kedukaan”.
“Saya tak tahu mengapa,
Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan
arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya
diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra
tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan
yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat
menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada
anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya”.
“Tak ada lagi rasa
benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan
perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik”.
Begitulah
catatan yang saya kutip dari buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran.
Catatan-catatan ini hanya sekedar mengingatkan kembali peran dan fungsi
mahasiswa sendiri dalam kehidupan berpolitik bangsa dan Negara. Mungkin ini
sebuah ke khawatiran dari penulis, jika mahasiswa masa ini sudah mulai tidak
tertarik lagi mengkritisi, terlalu bersikap anarkis, jauh dari pedoman kaum
intelektual dan sibuk memikirkan karir sendiri masa ke depan. Catatan-catatan
Gie ini jika di fikirkan dan di diskusikan secara lebih dalam, masih valid ko
untuk kontemplasi politik masa kini yang dapat kita nilai seperti apa carut
marutnya. Tanpa menyalahkan dan tidak hanya sebagai tukang kritik, mari kita
diskusikan apa maksud manusia baru yang Gie maksud, dengan kondisi masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar